Senin, 12 Juni 2023

MANAQIB AL IMAM AL QUTB AL HABIB ABDULLAH BIN ALWI ALHADDAD

      
 
MANAQIB AL IMAM AL QUTB AL HABIB ABDULLAH BIN ALWI ALHADDAD

Beliau adalah Syeikh Al-Islam, maha guru, 
mursyid dan pemimpin utama dalam jejak 
dakwah dan pendidikan, dari keturunan 
Sayyid Ba’Alawi yang nasabnya bersambung kepada Baginda Nabi Muhammad 
Saw yang mulia, Abdullah bin Alwi AlHaddad Al-Alawi Al-Husaini Al-Hadrami 
As-Syafi'i, Imam Ahli zamannya, yang
berdakwah kepada jalan Allah, berjuang 
untuk mengembangkan agama yang suci 
dengan lisan dan penanya yang menjadi 
tumpuan dan rujukan banyak orang dalam 
ilmu pengetahuan.

* Nasab Imam Haddad RA
Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad 
bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad 
bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin 
Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih 
Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil 
Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad 
Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam 
Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin 
Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib 
As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam 
Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam 
Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina 
Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al￾Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam 
Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al￾Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al￾Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al￾Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina 
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina 
Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah 
Sayyidina Al-Husein bin Sayyidinal Imam 
Ali Wa Sayyidatuna Fathimah AzZahra 
Bintu Sayyidina Muhammad Saw. 
Sebagaimana yang disampaikan banyak 
ulama salah satunya As Syeikh Yusuf bin Ismail AnNabhani, seorang ulama besar 
negeri Syam asal Palestina yang bermukim 
di Libanon dalam pengantar kitabnya 
“Riyadhul Jannah fi adzkaril kitab was 
sunnah”. Beliau Syeikh Yusuf An Nabhani 
menuturkan “Sesungguhnya para panutan 
dan guru-guru kami yaitu para sayyid 
Ba’Alawi yg mana ummat 
Nabi 
Muhammad telah sepakat dengan suara 
bulat sepanjang masa di seluruh negri 
menyetujui bahwa mereka para saadah / 
sayyid Ba’Alawi merupakan keturunan 
Rasulullah Saw yg paling murni dalam 
menjaga nasabnya, mereka keturunan Ahlul 
Bait Nabi Muhammad Saw berdasarkan 
jalur nasab yg benar, mereka golongan yang 
memiliki pengetahuan yg tinggi, berkarya 
dan memiliki akhlak budi pekerti yg luhur.”
Beliau dilahirkan pada malam Senin 5 
Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, 
di pinggiran kota Tarim, Hadramaut,Yaman 

* Kedua Orang Tua Imam Al-Haddad RA
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, 
Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal 
sebagai seorang yang saleh. Lahir dan 
tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak 
kecil berada di bawah asuhan ibunya 
Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai 
wanita ahli ma’rifah dan wilayah. 
Ayah beliau, al-Habib
Alwy bin Muhammad al-Haddad berkata: “Sebelum 
aku menikah, aku berkunjung ke rumah al-
’Arif Billah al-Habib Ahmad bin 
Muhammad al-Habsyi di Kota Syi’ib untuk 
meminta do’a. Lalu al-Habib Ahmad 
menjawabku: “Awlaaduka Awlaadunaa 
Fiihim Albarakah”
Artinya: “Putera-puteramu termasuk juga 
putera-putera kami, pada mereka terdapat 
berkah.”

Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh 
Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin 
Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al￾Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib 
Husein bin Ahmad bin Muhammad Al￾Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini 
adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib 
Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad 
bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud 
Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu 
Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. 
Ketika Habib Abdullah Al-Haddad lahir 
ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak 
mengerti makna tersirat yang ducapkan 
Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah 
lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku 
melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al￾Wilayah ( Kewalian ).

* Masa kecil Imam Haddad RA
Semenjak kecil, al-Habib Abdullah al￾Haddad telah termotivasi untuk menimba 
ilmu dan gemar beribadah. Tentang masa 
kecilnya, al-Habib Abdullah berkata: “Jika 
aku kembali dari tempat belajarku pada 
waktu Dhuha, maka aku mendatangi 
sejumlah masjid untuk melakukan shalat 
sunnah seratus rakaat setiap harinya.”
Kemudian untuk mengetahui betapa besar 
kemauan beliau untuk beribadah di masa 
kecilnya, al-Habib Abdullah 
menuturkannya sebagai berikut: “Di masa 
kecilku, aku sangat gemar dan bersungguh￾sungguh dalam ibadah dan mujahadah, 
sampai nenekku seorang wanita shalihah 
yang bernama asy-Syarifah Salma binti al￾Habib Umar bin Ahmad al-Manfar 
Ba’alawi berkata: ‘Wahai anak kasihanilah 
dirimu.’ Ia mengucapkan kalimat itu 
karena merasa kasihan kepadaku ketika 
melihat kesungguhanku dalam ibadah dan 
bermujahadah.”
Seorang sahabat dekat al-Habib Abdullah 
al-Haddad berkata: “Ketika aku berkunjung 
kerumah al-Habib Abdullah bin Ahmad 
Bilfagih, maka ia bercerita kepada kami: 
‘Sesungguhnya kami dan al-Habib 
Abdullah al-Haddad tumbuh bersama, 
namun Allah SWT memberinya kelebihan 
lebih dari kami. Yang sedemikian itu, kami 
lihat hidup al-Habib Abdullah sejak masa 
kecilnya telah mempunyai kelebihan 
tersendiri, yaitu ketika ia membaca Surat 
Yasiin, maka ia sangat terpengaruh dan 
menangis sejadi-jadinya, sehingga ia tidak 
dapat menyelesaikan bacaan surat yang 
mulia itu, maka dari kejadian itu dapat kami 
maklumi bahwa al-Habib Abdullah telah 
diberi kelebihan tersendiri sejak di masa 
kecilnya Al-Habib Abdullah sering berziarah kubur 
pada Hari Jum’at sore setelah melakukan 
shalat Ashar di masjid al-Hujairah. Selain 
itu, al-Habib Abdullah al-Haddad sering 
berziarah kubur pada Hari Selasa sore. 
Setelah usianya semakin lanjut dan 
kekuatannya semakin menurun, maka al￾Habib Abdullah tidak berziarah pada Hari 
Jum’at dan Selasa seperti biasanya, 
adakalanya beliau berziarah pada Hari 
Sabtu dan hari-hari lainnya sebelum 
matahari naik.

Di antara wirid al-Habib Abdullah bin 
Alawi al-Haddad setiap harinya adalah 
kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAH” 
sebanyak 1000 kali. Tetapi di Bulan 
Ramadhan dibaca sebanyak 2000 kali setiap 
harinya. Beliau menyempurnakannya 
sebanyak 70.000 kali pada waktu enam hari 
di Bulan Syawal. Selain itu, beliau 
mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAH 
AL-MALIKUL HAQQUL MUBIIN” 100 
kali setelah Shalat Dzuhur.
Al-Habib Abdullah berkata: “Kami biasa 
melakukan shalat al-Awwabin sebanyak 
dua puluh rakaat.”
Al-Habib Abdullah sering berpuasa sunnah, 
khususnya pada hari-hari yang dianjurkan, 
seperti Hari Senin dan Hari Kamis, hari￾hari putih (Ayyamul baidh), Hari Asyura, 
Hari Arafah, enam hari di Bulan Syawal 
dan lain sebagainya sampai di masa 
senjanya. Beliau selalu menyembunyikan 
berbagai macam ibadah dan mujahadahnya, 
beliau tidak ingin memperlihatkannya 
kepada orang lain, kecuali untuk 
memberikan contoh kepada mereka.
Selain di kenal sebagai ahli ibadah dan 
mujahadah, al-Habib Abdullah juga dikenal 
seorang yang istiqomah dalam ibadah dan 
mujahadahnya seperti yang dilakukan 
Rasulullah SAW dan para sahabatnya

Al-Habib Ahmad an-Naqli berkata: “al￾Habib Abdullah adalah seorang yang sangat 
istiqamah dalam mengikuti semua jejak 
kakeknya, Rasulullah SAW.”
Dalam masalah ini, al-Habib Abdullah bin 
Alawi al-Haddad berkata: “Kami telah 
mengamalkan semua jejak Nabi 
Muhammad SAW dan kami tidak 
meninggalkan sedikitpun daripadanya, 
kecuali hanya memanjangkan rambut 
sampai di bawah ujung telinga, karena Nabi 
SAW memanjangkan rambutnya sampai di 
bawah ujung kedua telinganya.”

* Tentang kesabaran Imam Haddad RA
Sejak masa kecil beliau sudah mengalami 
berbagai cobaan, diantaranya adalah ketika 
ia menderita penyakit cacar sampai kedua 
matanya tidak dapat melihat. Meskipun 
begitu, ia rajin mencari ilmu dan beribadah 
di masa kecilnya, hingga melakukan shalat

sunnah seratus rakaat setiap paginya hingga 
Waktu Dzuhur tiba. Disebutkan bahwa ia 
selalu menyembunyikan berbagai cobaan 
yang dideritanya, sampai di akhir usianya.
Dalam masalah ini beliau berkata kepada 
seorang kawan dekatnya:
“Sesungguhnya penyakit demam di tubuhku 
sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu 
dan hingga kini masih belum meninggalkan 
aku, meskipun demikian tidak seorangpun 
yang mengetahui penyakitku ini, sampai 
pun keluargaku sendiri.”
Beliau berhasil menghafal Al-Qur’an dan 
menguasai berbagai ilmu agama seperti 
buku-buku karangan Imam Al-Ghozali 
ketika masih kanak-kanak.
Rupanya Allah berkenan menggantikan 
penglihatan lahirnya dengan penglihatan 
batin, sehingga kemampuan menghafal dan 
daya pemahamannya sangat mengagumkan.
Habib Abdullah Al Haddad sejak kecil 
gemar beribadah dan riyâdhoh.
Di kota Tarim, Abdullah tumbuh dewasa. 
Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di 
wajahnya. Beliau berperawakan tinggi, 
berdada bidang, berkulit putih, dan 
berwibawa. Tutur bahasanya menarik, sarat 
dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga. 
Beliau sangat gemar menuntut ilmu. 
Kegemarannya ini membuatnya sering 
melakukan perjalanan untuk menemui 
kaum ulama.
Habib Abdullah Al-Haddad ra berkata, 
“Apa kalian kira aku mencapai ini dengan 
santai? Tidak tahukah kalian bahwa aku 
berkeliling ke seluruh kota-kota (di 
Hadramaut) untuk menjumpai kaum 
sholihin, menuntut ilmu dan mengambil 
berkah dari mereka?” Beliau juga sangat 
giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik 
murid-muridnya. Banyak penuntut ilmu 
datang untuk belajar kepadanya Suatu hari beliau berkata, “Dahulu aku 
menuntut ilmu dari semua orang, kini 
semua orang menuntut ilmu dariku.” 
“Andaikan penghuni zaman ini mau belajar 
dariku, tentu akan kutulis banyak buku
mengenai makna ayat-ayat Qu’ran. Namun, 
di hatiku ada beberapa ilmu yang tak 
kutemukan orang yang mau menimbanya.”
Habib Abdullah mengamati bahwa 
kemajuan zaman justru membuat orang￾orang saleh menyembunyikan diri; 
membuat mereka lebih senang 
menyibukkan diri dengan Allah. “Zaman 
dahulu keadaannya terbalik. “Dagangan” 
kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh 
karena itu mereka menampakkan diri. 
Zaman ini telah rusak, masyarakat tidak 
membutuhkan “dagangan” mereka, karena 
itu mereka pun enggan menampakkan diri,” 
papar beliau. 

* Guru-Guru Imam Haddad RA
1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin 
Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin 
Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin 
Abdullah bin Abdurrohman Asseqaff,
2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin 
Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin 
Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin 
Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff,
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin 
Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,
4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad 
Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad 
bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin 
Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff
6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam 
Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin 
Syaikh Abdurrahman Asseqaff
7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin 
Syaikh Abu Bakar bin Salim
8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin 
Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu 
Bakar bin Salim
9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin 
Muhammad bin Abdurrohman bin 
Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah 
Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin 
Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar 
bin Abdullah Al-Idrus
10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin 
Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin 
Muhammad Al-Qusyasyi

* Murid-Murid Imam Haddad RA
1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( 
putra beliau )
2. Habib Ahmad bin Zein Al Habsyi
3. Habib Abdurrahman bin Abdullah 
BilFaqih
4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith
5. Habib Umar bin Zein bin Smith
6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar
7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan 
As Segaf
8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha 
Ash As-Shafi As Seqaf
9. dll.
* Ibadah Imam Haddad RA
Pada masa Bidayahnya ( permulaannya ); 
setiap malam beliau mengunjungi seluruh 
masjid di kota Tarim untuk beribadah. 
Telah lebih 30 tahun lamanya beliau 
beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah 
bin Abu Bakar Al-Khotib, salah seorang 
guru Fiqih beliau, berkata :
”Aku bersaksi bahwa Sayyidi Abdullah Al 
Haddad berada di Maqom Sayyid ath￾Thoifah Junaid.”
Salah seorang yang tinggal berdampingan 
dengan Masjid tempat beliau ra biasa shalat 
mengatakan, “Setiap malam, ketika 
penduduk kota ini telah lelap dalam 
tidurnya, aku selalu mendapati beliau 
berjalan ke Masjid.”

* Masjid Imam Haddad RA
Sahabat beliau menceritakan, “Suatu hari 
aku berziarah bersama beliau ke makam 
Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor 
kalajengking menyengatku sehingga aku 
terjaga semalaman. Aku amati malam itu beliau tidak tidur, asyik beribadah 
sepanjang malam. Waktu kutanyakan hal 
itu, beliau menjawab bahwa telah tiga puluh 
tahun lamanya beliau berbuat demikian. 
Meskipun Habib Abdullah amat gemar 
beribadah, beliau tidak suka menceritakan 
atau memperlihatkan amalnya, kecuali bila 
keadaan sangat memaksa dan ia ingin agar 
amal salehnya itu diteladani.
Beliau berkata, “Aku sengaja tidak 
memperlihatkan amal ibadahku, meskipun, 
alhamdulillâh, aku tidak khawatir terkena 
riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan 
oleh Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku 
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), 
karena nafsu itu selalu mengajak berbuat 
kejahatan...”
Di masa kecilnya, al-Habib Abdullah 
mengerjakan shalat sunnah seratus rakaat 
setiap harinya setelah pulang dari rumah 
gurunya di waktu Dhuha. Karena itulah 
tidaklah mengherankan jika Allah SWT
memberinya kedudukan sebagai ‘Wali Al￾Quthub’ sejak usianya masih remaja.
Disebutkan bahwa beliau
mendapat 
kedudukan Wali al-Quthub lebih dari 
‘Enam Puluh Tahun’. Beliau menerima 
libas atau pakaian kewalian dari al-’Arif 
Billah al-Habib Muhammad bin Alawi 
(Shahib Makkah). Beliau menerima libas 
tersebut tepat ketika al-Habib Muhammad 
bin Alawi wafat di kota Makkah pada tahun 
1070 H. Pada waktu itu, usia al-Habib 
Abdullah 26 tahun. Kedudukan Wali al￾Quthub itu beliau sandang hingga beliau 
wafat (1132 H). Jadi beliau menjadi Wali 
al-Quthub lebih dari ’60 Tahun’.
* Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif
ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa 
orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke 
Yaman. Para Ulama khawatir akidah 
masyarakat akan rusak karena pengaruh ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka 
lalu meminta beliau untuk merumuskan
sebuah doa’ yang dapat mengokohkan 
akidah masyarakat dan menyelamatkan 
mereka dari faham-faham sesat. Beliau 
memenuhui permintaan mereka lalu 
menyusun sebuah doa’ yang akhirnya 
dikenal dengan nama Ratb Al Haddad. 
Disamping itu beliau juga merumuskan 
bacaan dzikir yang dinamainya Wirid al￾Lathif. 

* Keluhuran Budi Imam Haddad RA
Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat 
gangguan dari masyarakat lingkungannya, 
Beliau berkata :
Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah 
penyakit atau lainnya, mereka tabah dan 
sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho 
dan qodar Allah SWT. Tetapi jika diganggu 
orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa gangguan-gangguan itu sebenarnya 
juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka 
lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT 
hendak menguji dan menyucikan jiwa 
mereka.
Rasulullah Saw bersabda :
“Besarnya pahala tergantung pada beratnya 
ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu 
kaum, ia akan menguji mereka. Barang 
siapa ridho, ia akan memperoleh 
keridhoannya; barang siapa tidak ridho, 
Allah SWT akan murka kepadanya.” ( HR 
Thabrani dan Ibnu Majah )
Habib Abdullah juga menjadikan Ratib Al￾Atthas karya gurunya, Habib Umar bin 
Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. 
Ketika seseorang datang minta ijazah atau 
izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau 
berkata :
“Bacalah Ratib Guruku, kemudian baru 
Ratibku
Ini merupakan cermin bagaimana seorang 
murid menghormati gurunya, meski 
karyanyalah yang lebih populer.
Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia 
banyak bergaul dan melakukan perjalanan. 
“Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap￾cakap dengan masyarakat, aku juga tidak 
menyukai pembicaraan mereka, dan tidak 
peduli kepada siapa pun dari mereka. Sudah 
menjadi tabiat dan watakku bahwa aku 
tidak menyukai kemegahan dan 
kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di 
gurun Sahara. Itulah keinginanku; itulah 
yang kudambakan. Namun, aku menahan 
diri tidak melaksanakan keinginanku agar 
masyarakat dapat mengambil manfaat 
dariku.”
Habib Abdullah mengetahui bahwa ada 
beberapa orang yang memakan 
hidangannya, tetapi juga memakinya. 
“Perbuatan mereka tidak mempengaruhi 
sikapku. Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudo’akan.” Habib 
Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang 
lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap 
tegas, beliau kemudian segera menghibur 
dan memberikan hadiah kepada orang yang 
ditegurnya. Beliau berkata :
”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore 
dalam keadaan benci dan iri pada 
seseorang!”
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, 
beliau lebih suka berpegang pada hadits 
Rasulullah SAW :
”Orang beriman yang bergaul dengan 
masyarakat dan sabar menanggung 
gangguannya, lebih baik daripada orang 
yang tidak bergaul dengan masyarakat dan 
tidak pula sabar menghadapi 
gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan 
Ahmad )
Habib Abdullah tidak menyukai 
kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga 
tidak suka dipuji.
“Banyak orang membuat syair-syair untuk 
memujiku. Sesungguhnya aku hendak 
mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak 
ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, 
kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya. 
Dalam hal ini aku lebih suka meneladani 
Nabi Saw, karena beliau pun tidak 
melarang ketika sahabatnya membacakan 
syair-syair pujian kepadanya.”
Suatu hari beliau berkata kepada orang 
yang melantunkan qoshidah pujian untuk 
beliau, “Aku tidak keberatan dengan semua 
pujian ini. Yang ada padaku telah 
kucurahkan ke dalam samudra Muhammad 
Saw. Sebab, beliau adalah manusia yang 
paling utama, dan beliaulah manusia yang 
berhak menerima semua pujian. Jadi, jika 
sepeninggal beliau ada manusia yang layak 
dipuji, maka sesungguhnya pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia 
adalah sumber segala keburukan dan 
kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan 
celaan terhadap keburukan akan terpulang 
kepadanya, sebab setanlah penyebab 
pertama terjadinya keburukan dan 
kehinaan.”
Beliau tidak pernah bergantung pada 
mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya
kepada Allah SWT. Beliau berkata :
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan 
diri dengan kemurahan dan karunia Allah 
SWT. Aku selalu menerima nafkah dari 
khazanah kedermawanannya.”
Beliau sangat menyayangi kaum faqir 
miskin, “Andaikan aku kuasa dan mampu, 
tentu akan kupenuhi kebutuhan semua 
kaum faqir miskin. Sebab pada awalnya, 
agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin 
yang lemah.” “Dengan sesuap makanan 
tertolaklah bencana.”

* Karya-karya Imam Haddad RA
1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal 
Imaniyyah
2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul 
‘Ammah
3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah 
wal Muazaroh
4. Al Fushul ‘Ilmiyyah
5. Sabilul Iddikar
6. Risalatul Mudzakaroh
7. Risalatu Adabi sulukil Murid
8. Kitabul Hikam
9. An Nafaisul ‘Uluwiyah
10. Ithafus Sail Bijawabil Masail
11. Tatsbitul Fuad
12. Risalah Shalawat 
13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi)
14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )
Karya-karya beliau sarat dengan inti sari 
ilmu syari’at, adab islami dan tarekat, 
penjabaran ilmu hakikat, menggunakan 
ibarat yang jelas dan tata bahasa yang 
memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa 
yang mudah dipahami. Berisi ajaran 
tasawuf murni. Beliau berkata :
“Aku mencoba menyusunnya dengan 
ungkapan yang mudah, supaya dekat 
dengan pemahaman masyarakat, lalu 
kugunakan kata-kata yang ringan, supaya 
segera dapat dipahami dan mudah 
dimengerti oleh kaum khusus maupun 
awam.”
Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran 
islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat ) 
semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam 
Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau 
menulis :
“Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat 
berbagai ilmu yang tidak ada dalam kitab 
lainnya. Maka barang siapa membacanya 
secara rutin, lalu berpegang teguh 
kepadanya, cukup sudah baginya.”
Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum 
muslimin, membaca karya Habib Abdullah 
bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu 
keselamatan, bukan hanya bagi 
pembacanya, melainkan juga masyarakat 
sekitarnya.
Selain itu terdapat ucapan dan ajaran￾ajarannya yang sempat dicatat murid￾muridnya dan pengikutnya antara lain: Al￾Maktubat (kumpulan surat menyurat), 
Ghayat al-Qashoad Wa al-Murad oleh 
Sayid Muhammad bin Zain bin Samith, dan 
Tasbit al-Fuad oleh Syekh Ahmad bin 
Abdul Karim al-Hasawi.
Diakui para sufi bahwa ada ketinggian dan 
keindahan spiritualitas yang tinggi pada 
kesufian Al-Haddad. Bahwa dari karya￾karyanya tersebut betapa sejuk dan 
indahnya bertasawwuf. Betapa tidak, 
tasawuf bagi al-Haddad adalah ibadah, 
zuhud, akhlak, dan zikir, suatu jalan 
membina dan memperkuat kemandirian 
menuju kepada Allah swt. Saperti dalam 
Al-Iddikar, Al-Haddad menjelaskan 
kehidupan manusia sejak dalam rahim, di 
dunia, di alam mahsyar, sampai pada 
kehidupan yang abadi, disertai dengan ayat￾ayat Al-Quran dan hadis yang tersusun rapi 
dengan uraian yang mengesankan. Dalam 
kitabnya Risalah al-Mu’awanah, al-Haddad 
menegaskan pesannya kepada umat Islam 
untuk berpegang pada al-Quran dan hadis, 
termasuk di dalamnya kehidupan tasawwuf 
yang tidak boleh lepas dari al-Quran dan 
hadis, serta menghindari bid’ah mazmumah 
(sesuatu yang menyimpang dari al-Quran 
dan hadis). Oleh sebab itu al-Haddad melihat tasawuf tersebut adalah untuk 
melaksanakan semua perintah Allah swt 
dan menjauhi semua larangan-Nya, sambil 
membersihkan diri dan menjernihkan jiwa 
hingga merasa cukup dengan Allah dan 
tidak membutuhkan dunia yang lain.
Sedangkan di dalam Al-Maktubat, ia 
berpesan; seorang sufi harus menyaring dan 
menjernihkan segala perbuatan, ucapan, dan 
semua niat serta perilaku dari berbagai 
kotoran berupa riya (pamer), dan segala 
sesuatu yang tidak disukai Allah swt. Selain 
itu manusia harus menghadap Allah secara 
terus-menerus secara lahir maupun batin 
dengan mengerjakan semua ketaatan hanya 
kepada Allah dan berpaling dari segala 
sesuatu selain Allah Yang Maha Esa.
Dalam Al-Fushul al-Ilmiyah, al-Haddad 
menguraikan intinya adalah memurnikan 
tauhid (akidah) dari sumber-sumber syirik, 
kemudian menumbuhkan akhlak terpuji 
seperti zuhud, ikhlas, dan bersih hati terhadap kaum muslimin serta 
menghilangkan segala sifat buruk seperti 
cinta dunia, riya, dan angkuh. Kemudian
melaksanakan amal saleh yang nyata dan 
menjauhi perbuatan buruk. Mencari nafkah 
dengan baik melalui jalan wara’ 
(menjaughkan diri dari segala sesuatu yang 
haram, dosa dan maksiat) dan qanaah 
(mensyukuri terhadap apa yang telah 
diusahakannya).
Bagi kalangan ahli hikmah, jumlah dalam 
bacaan memiliki makna tersembunyi 
(asrar). Jumlah juga mengandung misteri 
(sirr). Dan tentunya mengamalkan Ratib 
Alhaddad tidak perlu ragu asal tidak 
menyimpang dari al-Quran dan hadis. 
Apalagi, di era sekarang ini di tengah 
masyarakat dan ummat menghadapi 
kegelisahan, kebingungan, bahkan frustrasi 
karena dunia modern tidak mampu 
memberikan solusi terhadap berbagai 
persoalan, maka dengan mengamalkan Ratib ini diharapkan mampu memberikan 
kesejukan jiwa sekaligus jalan dan jawaban 
terhadap masalah-masalah duniawi yang 
makin rumit tersebut.

* Wafatnya Imam Haddad RA
Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, 
beliau sakit dan tidak ikut shalat ashar 
berjamaah di masjid dan pengajian sore. 
Beliau memerintahkan orang-orang untuk 
tetap melangsungkan pengajian seperti 
biasa dan ikut mendengarkan dari dalam 
rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya 
berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya 
beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at. 
Sejak hari itu, penyakit beliau semakin 
parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai 
akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah 
1132 H / 1712 M beliau wafat di kota 
Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan.
Beliau wafat dalam usia 89 tahun, 
meninggalkan banyak murid, karya dan 
nama harum di dunia. Beliau dimakamkan 
di pemakaman Zanbal, Tarim. Meski secara 
fisik telah tiada, secara batin Habib 
Abdullah bin Alawy Al-Haddad tetap hadir 
di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca 
_________________________________________



PUSTAKA MAJELIS RASULULLAH SAW
Alhabib abu bakar bin ja'far alkaff

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MANAQIB SYEKH SAMMAN AL-MADANI AL-HASANI

MANAQIB SYEKH SAMMAN AL-MADANI AL-HASANI __________________________________________ (Sang Pendiri Tarekat Sammaniyah Dan Penjaga...