MANAQIB AL IMAM AL QUTB AL HABIB ABDULLAH BIN ALWI ALHADDAD
Beliau adalah Syeikh Al-Islam, maha guru,
mursyid dan pemimpin utama dalam jejak
dakwah dan pendidikan, dari keturunan
Sayyid Ba’Alawi yang nasabnya bersambung kepada Baginda Nabi Muhammad
Saw yang mulia, Abdullah bin Alwi AlHaddad Al-Alawi Al-Husaini Al-Hadrami
As-Syafi'i, Imam Ahli zamannya, yang
berdakwah kepada jalan Allah, berjuang
untuk mengembangkan agama yang suci
dengan lisan dan penanya yang menjadi
tumpuan dan rujukan banyak orang dalam
ilmu pengetahuan.
* Nasab Imam Haddad RA
Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad
bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad
bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin
Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih
Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil
Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad
Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam
Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin
Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib
As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam
Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam
Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina
Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina AlImam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam
Muhammad An-Naqib bin Sayyidina AlImam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina AlImam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina AlImam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina
Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah
Sayyidina Al-Husein bin Sayyidinal Imam
Ali Wa Sayyidatuna Fathimah AzZahra
Bintu Sayyidina Muhammad Saw.
Sebagaimana yang disampaikan banyak
ulama salah satunya As Syeikh Yusuf bin Ismail AnNabhani, seorang ulama besar
negeri Syam asal Palestina yang bermukim
di Libanon dalam pengantar kitabnya
“Riyadhul Jannah fi adzkaril kitab was
sunnah”. Beliau Syeikh Yusuf An Nabhani
menuturkan “Sesungguhnya para panutan
dan guru-guru kami yaitu para sayyid
Ba’Alawi yg mana ummat
Nabi
Muhammad telah sepakat dengan suara
bulat sepanjang masa di seluruh negri
menyetujui bahwa mereka para saadah /
sayyid Ba’Alawi merupakan keturunan
Rasulullah Saw yg paling murni dalam
menjaga nasabnya, mereka keturunan Ahlul
Bait Nabi Muhammad Saw berdasarkan
jalur nasab yg benar, mereka golongan yang
memiliki pengetahuan yg tinggi, berkarya
dan memiliki akhlak budi pekerti yg luhur.”
Beliau dilahirkan pada malam Senin 5
Shafar 1044 H / 1624 M di Subair,
di pinggiran kota Tarim, Hadramaut,Yaman
* Kedua Orang Tua Imam Al-Haddad RA
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad,
Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal
sebagai seorang yang saleh. Lahir dan
tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak
kecil berada di bawah asuhan ibunya
Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai
wanita ahli ma’rifah dan wilayah.
Ayah beliau, al-Habib
Alwy bin Muhammad al-Haddad berkata: “Sebelum
aku menikah, aku berkunjung ke rumah al-
’Arif Billah al-Habib Ahmad bin
Muhammad al-Habsyi di Kota Syi’ib untuk
meminta do’a. Lalu al-Habib Ahmad
menjawabku: “Awlaaduka Awlaadunaa
Fiihim Albarakah”
Artinya: “Putera-puteramu termasuk juga
putera-putera kami, pada mereka terdapat
berkah.”
Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh
Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin
Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. AlHabib Idrus adalah saudara dari Al-Habib
Husein bin Ahmad bin Muhammad AlHabsy. Yang mana Al-Habib Husein ini
adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib
Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad
bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud
Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu
Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad.
Ketika Habib Abdullah Al-Haddad lahir
ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak
mengerti makna tersirat yang ducapkan
Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah
lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku
melihat pada dirinya tanda-tanda sinar AlWilayah ( Kewalian ).
* Masa kecil Imam Haddad RA
Semenjak kecil, al-Habib Abdullah alHaddad telah termotivasi untuk menimba
ilmu dan gemar beribadah. Tentang masa
kecilnya, al-Habib Abdullah berkata: “Jika
aku kembali dari tempat belajarku pada
waktu Dhuha, maka aku mendatangi
sejumlah masjid untuk melakukan shalat
sunnah seratus rakaat setiap harinya.”
Kemudian untuk mengetahui betapa besar
kemauan beliau untuk beribadah di masa
kecilnya, al-Habib Abdullah
menuturkannya sebagai berikut: “Di masa
kecilku, aku sangat gemar dan bersungguhsungguh dalam ibadah dan mujahadah,
sampai nenekku seorang wanita shalihah
yang bernama asy-Syarifah Salma binti alHabib Umar bin Ahmad al-Manfar
Ba’alawi berkata: ‘Wahai anak kasihanilah
dirimu.’ Ia mengucapkan kalimat itu
karena merasa kasihan kepadaku ketika
melihat kesungguhanku dalam ibadah dan
bermujahadah.”
Seorang sahabat dekat al-Habib Abdullah
al-Haddad berkata: “Ketika aku berkunjung
kerumah al-Habib Abdullah bin Ahmad
Bilfagih, maka ia bercerita kepada kami:
‘Sesungguhnya kami dan al-Habib
Abdullah al-Haddad tumbuh bersama,
namun Allah SWT memberinya kelebihan
lebih dari kami. Yang sedemikian itu, kami
lihat hidup al-Habib Abdullah sejak masa
kecilnya telah mempunyai kelebihan
tersendiri, yaitu ketika ia membaca Surat
Yasiin, maka ia sangat terpengaruh dan
menangis sejadi-jadinya, sehingga ia tidak
dapat menyelesaikan bacaan surat yang
mulia itu, maka dari kejadian itu dapat kami
maklumi bahwa al-Habib Abdullah telah
diberi kelebihan tersendiri sejak di masa
kecilnya Al-Habib Abdullah sering berziarah kubur
pada Hari Jum’at sore setelah melakukan
shalat Ashar di masjid al-Hujairah. Selain
itu, al-Habib Abdullah al-Haddad sering
berziarah kubur pada Hari Selasa sore.
Setelah usianya semakin lanjut dan
kekuatannya semakin menurun, maka alHabib Abdullah tidak berziarah pada Hari
Jum’at dan Selasa seperti biasanya,
adakalanya beliau berziarah pada Hari
Sabtu dan hari-hari lainnya sebelum
matahari naik.
Di antara wirid al-Habib Abdullah bin
Alawi al-Haddad setiap harinya adalah
kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAH”
sebanyak 1000 kali. Tetapi di Bulan
Ramadhan dibaca sebanyak 2000 kali setiap
harinya. Beliau menyempurnakannya
sebanyak 70.000 kali pada waktu enam hari
di Bulan Syawal. Selain itu, beliau
mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAH
AL-MALIKUL HAQQUL MUBIIN” 100
kali setelah Shalat Dzuhur.
Al-Habib Abdullah berkata: “Kami biasa
melakukan shalat al-Awwabin sebanyak
dua puluh rakaat.”
Al-Habib Abdullah sering berpuasa sunnah,
khususnya pada hari-hari yang dianjurkan,
seperti Hari Senin dan Hari Kamis, harihari putih (Ayyamul baidh), Hari Asyura,
Hari Arafah, enam hari di Bulan Syawal
dan lain sebagainya sampai di masa
senjanya. Beliau selalu menyembunyikan
berbagai macam ibadah dan mujahadahnya,
beliau tidak ingin memperlihatkannya
kepada orang lain, kecuali untuk
memberikan contoh kepada mereka.
Selain di kenal sebagai ahli ibadah dan
mujahadah, al-Habib Abdullah juga dikenal
seorang yang istiqomah dalam ibadah dan
mujahadahnya seperti yang dilakukan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya
Al-Habib Ahmad an-Naqli berkata: “alHabib Abdullah adalah seorang yang sangat
istiqamah dalam mengikuti semua jejak
kakeknya, Rasulullah SAW.”
Dalam masalah ini, al-Habib Abdullah bin
Alawi al-Haddad berkata: “Kami telah
mengamalkan semua jejak Nabi
Muhammad SAW dan kami tidak
meninggalkan sedikitpun daripadanya,
kecuali hanya memanjangkan rambut
sampai di bawah ujung telinga, karena Nabi
SAW memanjangkan rambutnya sampai di
bawah ujung kedua telinganya.”
* Tentang kesabaran Imam Haddad RA
Sejak masa kecil beliau sudah mengalami
berbagai cobaan, diantaranya adalah ketika
ia menderita penyakit cacar sampai kedua
matanya tidak dapat melihat. Meskipun
begitu, ia rajin mencari ilmu dan beribadah
di masa kecilnya, hingga melakukan shalat
sunnah seratus rakaat setiap paginya hingga
Waktu Dzuhur tiba. Disebutkan bahwa ia
selalu menyembunyikan berbagai cobaan
yang dideritanya, sampai di akhir usianya.
Dalam masalah ini beliau berkata kepada
seorang kawan dekatnya:
“Sesungguhnya penyakit demam di tubuhku
sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu
dan hingga kini masih belum meninggalkan
aku, meskipun demikian tidak seorangpun
yang mengetahui penyakitku ini, sampai
pun keluargaku sendiri.”
Beliau berhasil menghafal Al-Qur’an dan
menguasai berbagai ilmu agama seperti
buku-buku karangan Imam Al-Ghozali
ketika masih kanak-kanak.
Rupanya Allah berkenan menggantikan
penglihatan lahirnya dengan penglihatan
batin, sehingga kemampuan menghafal dan
daya pemahamannya sangat mengagumkan.
Habib Abdullah Al Haddad sejak kecil
gemar beribadah dan riyâdhoh.
Di kota Tarim, Abdullah tumbuh dewasa.
Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di
wajahnya. Beliau berperawakan tinggi,
berdada bidang, berkulit putih, dan
berwibawa. Tutur bahasanya menarik, sarat
dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga.
Beliau sangat gemar menuntut ilmu.
Kegemarannya ini membuatnya sering
melakukan perjalanan untuk menemui
kaum ulama.
Habib Abdullah Al-Haddad ra berkata,
“Apa kalian kira aku mencapai ini dengan
santai? Tidak tahukah kalian bahwa aku
berkeliling ke seluruh kota-kota (di
Hadramaut) untuk menjumpai kaum
sholihin, menuntut ilmu dan mengambil
berkah dari mereka?” Beliau juga sangat
giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik
murid-muridnya. Banyak penuntut ilmu
datang untuk belajar kepadanya Suatu hari beliau berkata, “Dahulu aku
menuntut ilmu dari semua orang, kini
semua orang menuntut ilmu dariku.”
“Andaikan penghuni zaman ini mau belajar
dariku, tentu akan kutulis banyak buku
mengenai makna ayat-ayat Qu’ran. Namun,
di hatiku ada beberapa ilmu yang tak
kutemukan orang yang mau menimbanya.”
Habib Abdullah mengamati bahwa
kemajuan zaman justru membuat orangorang saleh menyembunyikan diri;
membuat mereka lebih senang
menyibukkan diri dengan Allah. “Zaman
dahulu keadaannya terbalik. “Dagangan”
kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh
karena itu mereka menampakkan diri.
Zaman ini telah rusak, masyarakat tidak
membutuhkan “dagangan” mereka, karena
itu mereka pun enggan menampakkan diri,”
papar beliau.
* Guru-Guru Imam Haddad RA
1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin
Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin
Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin
Abdullah bin Abdurrohman Asseqaff,
2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin
Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin
Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin
Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff,
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin
Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,
4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad
Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad
bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin
Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff
6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam
Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin
Syaikh Abdurrahman Asseqaff
7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin
Syaikh Abu Bakar bin Salim
8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin
Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu
Bakar bin Salim
9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin
Muhammad bin Abdurrohman bin
Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah
Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin
Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar
bin Abdullah Al-Idrus
10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin
Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin
Muhammad Al-Qusyasyi
* Murid-Murid Imam Haddad RA
1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad (
putra beliau )
2. Habib Ahmad bin Zein Al Habsyi
3. Habib Abdurrahman bin Abdullah
BilFaqih
4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith
5. Habib Umar bin Zein bin Smith
6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar
7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan
As Segaf
8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha
Ash As-Shafi As Seqaf
9. dll.
* Ibadah Imam Haddad RA
Pada masa Bidayahnya ( permulaannya );
setiap malam beliau mengunjungi seluruh
masjid di kota Tarim untuk beribadah.
Telah lebih 30 tahun lamanya beliau
beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah
bin Abu Bakar Al-Khotib, salah seorang
guru Fiqih beliau, berkata :
”Aku bersaksi bahwa Sayyidi Abdullah Al
Haddad berada di Maqom Sayyid athThoifah Junaid.”
Salah seorang yang tinggal berdampingan
dengan Masjid tempat beliau ra biasa shalat
mengatakan, “Setiap malam, ketika
penduduk kota ini telah lelap dalam
tidurnya, aku selalu mendapati beliau
berjalan ke Masjid.”
* Masjid Imam Haddad RA
Sahabat beliau menceritakan, “Suatu hari
aku berziarah bersama beliau ke makam
Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor
kalajengking menyengatku sehingga aku
terjaga semalaman. Aku amati malam itu beliau tidak tidur, asyik beribadah
sepanjang malam. Waktu kutanyakan hal
itu, beliau menjawab bahwa telah tiga puluh
tahun lamanya beliau berbuat demikian.
Meskipun Habib Abdullah amat gemar
beribadah, beliau tidak suka menceritakan
atau memperlihatkan amalnya, kecuali bila
keadaan sangat memaksa dan ia ingin agar
amal salehnya itu diteladani.
Beliau berkata, “Aku sengaja tidak
memperlihatkan amal ibadahku, meskipun,
alhamdulillâh, aku tidak khawatir terkena
riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan
oleh Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena nafsu itu selalu mengajak berbuat
kejahatan...”
Di masa kecilnya, al-Habib Abdullah
mengerjakan shalat sunnah seratus rakaat
setiap harinya setelah pulang dari rumah
gurunya di waktu Dhuha. Karena itulah
tidaklah mengherankan jika Allah SWT
memberinya kedudukan sebagai ‘Wali AlQuthub’ sejak usianya masih remaja.
Disebutkan bahwa beliau
mendapat
kedudukan Wali al-Quthub lebih dari
‘Enam Puluh Tahun’. Beliau menerima
libas atau pakaian kewalian dari al-’Arif
Billah al-Habib Muhammad bin Alawi
(Shahib Makkah). Beliau menerima libas
tersebut tepat ketika al-Habib Muhammad
bin Alawi wafat di kota Makkah pada tahun
1070 H. Pada waktu itu, usia al-Habib
Abdullah 26 tahun. Kedudukan Wali alQuthub itu beliau sandang hingga beliau
wafat (1132 H). Jadi beliau menjadi Wali
al-Quthub lebih dari ’60 Tahun’.
* Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif
ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa
orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke
Yaman. Para Ulama khawatir akidah
masyarakat akan rusak karena pengaruh ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka
lalu meminta beliau untuk merumuskan
sebuah doa’ yang dapat mengokohkan
akidah masyarakat dan menyelamatkan
mereka dari faham-faham sesat. Beliau
memenuhui permintaan mereka lalu
menyusun sebuah doa’ yang akhirnya
dikenal dengan nama Ratb Al Haddad.
Disamping itu beliau juga merumuskan
bacaan dzikir yang dinamainya Wirid alLathif.
* Keluhuran Budi Imam Haddad RA
Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat
gangguan dari masyarakat lingkungannya,
Beliau berkata :
Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah
penyakit atau lainnya, mereka tabah dan
sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho
dan qodar Allah SWT. Tetapi jika diganggu
orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa gangguan-gangguan itu sebenarnya
juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka
lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT
hendak menguji dan menyucikan jiwa
mereka.
Rasulullah Saw bersabda :
“Besarnya pahala tergantung pada beratnya
ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu
kaum, ia akan menguji mereka. Barang
siapa ridho, ia akan memperoleh
keridhoannya; barang siapa tidak ridho,
Allah SWT akan murka kepadanya.” ( HR
Thabrani dan Ibnu Majah )
Habib Abdullah juga menjadikan Ratib AlAtthas karya gurunya, Habib Umar bin
Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan.
Ketika seseorang datang minta ijazah atau
izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau
berkata :
“Bacalah Ratib Guruku, kemudian baru
Ratibku
Ini merupakan cermin bagaimana seorang
murid menghormati gurunya, meski
karyanyalah yang lebih populer.
Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia
banyak bergaul dan melakukan perjalanan.
“Sesungguhnya aku tidak ingin bercakapcakap dengan masyarakat, aku juga tidak
menyukai pembicaraan mereka, dan tidak
peduli kepada siapa pun dari mereka. Sudah
menjadi tabiat dan watakku bahwa aku
tidak menyukai kemegahan dan
kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di
gurun Sahara. Itulah keinginanku; itulah
yang kudambakan. Namun, aku menahan
diri tidak melaksanakan keinginanku agar
masyarakat dapat mengambil manfaat
dariku.”
Habib Abdullah mengetahui bahwa ada
beberapa orang yang memakan
hidangannya, tetapi juga memakinya.
“Perbuatan mereka tidak mempengaruhi
sikapku. Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudo’akan.” Habib
Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang
lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap
tegas, beliau kemudian segera menghibur
dan memberikan hadiah kepada orang yang
ditegurnya. Beliau berkata :
”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore
dalam keadaan benci dan iri pada
seseorang!”
Dalam mengarungi bahtera kehidupan,
beliau lebih suka berpegang pada hadits
Rasulullah SAW :
”Orang beriman yang bergaul dengan
masyarakat dan sabar menanggung
gangguannya, lebih baik daripada orang
yang tidak bergaul dengan masyarakat dan
tidak pula sabar menghadapi
gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan
Ahmad )
Habib Abdullah tidak menyukai
kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga
tidak suka dipuji.
“Banyak orang membuat syair-syair untuk
memujiku. Sesungguhnya aku hendak
mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak
ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi,
kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya.
Dalam hal ini aku lebih suka meneladani
Nabi Saw, karena beliau pun tidak
melarang ketika sahabatnya membacakan
syair-syair pujian kepadanya.”
Suatu hari beliau berkata kepada orang
yang melantunkan qoshidah pujian untuk
beliau, “Aku tidak keberatan dengan semua
pujian ini. Yang ada padaku telah
kucurahkan ke dalam samudra Muhammad
Saw. Sebab, beliau adalah manusia yang
paling utama, dan beliaulah manusia yang
berhak menerima semua pujian. Jadi, jika
sepeninggal beliau ada manusia yang layak
dipuji, maka sesungguhnya pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia
adalah sumber segala keburukan dan
kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan
celaan terhadap keburukan akan terpulang
kepadanya, sebab setanlah penyebab
pertama terjadinya keburukan dan
kehinaan.”
Beliau tidak pernah bergantung pada
mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya
kepada Allah SWT. Beliau berkata :
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan
diri dengan kemurahan dan karunia Allah
SWT. Aku selalu menerima nafkah dari
khazanah kedermawanannya.”
Beliau sangat menyayangi kaum faqir
miskin, “Andaikan aku kuasa dan mampu,
tentu akan kupenuhi kebutuhan semua
kaum faqir miskin. Sebab pada awalnya,
agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin
yang lemah.” “Dengan sesuap makanan
tertolaklah bencana.”
* Karya-karya Imam Haddad RA
1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal
Imaniyyah
2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul
‘Ammah
3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah
wal Muazaroh
4. Al Fushul ‘Ilmiyyah
5. Sabilul Iddikar
6. Risalatul Mudzakaroh
7. Risalatu Adabi sulukil Murid
8. Kitabul Hikam
9. An Nafaisul ‘Uluwiyah
10. Ithafus Sail Bijawabil Masail
11. Tatsbitul Fuad
12. Risalah Shalawat
13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi)
14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )
Karya-karya beliau sarat dengan inti sari
ilmu syari’at, adab islami dan tarekat,
penjabaran ilmu hakikat, menggunakan
ibarat yang jelas dan tata bahasa yang
memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa
yang mudah dipahami. Berisi ajaran
tasawuf murni. Beliau berkata :
“Aku mencoba menyusunnya dengan
ungkapan yang mudah, supaya dekat
dengan pemahaman masyarakat, lalu
kugunakan kata-kata yang ringan, supaya
segera dapat dipahami dan mudah
dimengerti oleh kaum khusus maupun
awam.”
Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran
islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat )
semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam
Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau
menulis :
“Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat
berbagai ilmu yang tidak ada dalam kitab
lainnya. Maka barang siapa membacanya
secara rutin, lalu berpegang teguh
kepadanya, cukup sudah baginya.”
Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum
muslimin, membaca karya Habib Abdullah
bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu
keselamatan, bukan hanya bagi
pembacanya, melainkan juga masyarakat
sekitarnya.
Selain itu terdapat ucapan dan ajaranajarannya yang sempat dicatat muridmuridnya dan pengikutnya antara lain: AlMaktubat (kumpulan surat menyurat),
Ghayat al-Qashoad Wa al-Murad oleh
Sayid Muhammad bin Zain bin Samith, dan
Tasbit al-Fuad oleh Syekh Ahmad bin
Abdul Karim al-Hasawi.
Diakui para sufi bahwa ada ketinggian dan
keindahan spiritualitas yang tinggi pada
kesufian Al-Haddad. Bahwa dari karyakaryanya tersebut betapa sejuk dan
indahnya bertasawwuf. Betapa tidak,
tasawuf bagi al-Haddad adalah ibadah,
zuhud, akhlak, dan zikir, suatu jalan
membina dan memperkuat kemandirian
menuju kepada Allah swt. Saperti dalam
Al-Iddikar, Al-Haddad menjelaskan
kehidupan manusia sejak dalam rahim, di
dunia, di alam mahsyar, sampai pada
kehidupan yang abadi, disertai dengan ayatayat Al-Quran dan hadis yang tersusun rapi
dengan uraian yang mengesankan. Dalam
kitabnya Risalah al-Mu’awanah, al-Haddad
menegaskan pesannya kepada umat Islam
untuk berpegang pada al-Quran dan hadis,
termasuk di dalamnya kehidupan tasawwuf
yang tidak boleh lepas dari al-Quran dan
hadis, serta menghindari bid’ah mazmumah
(sesuatu yang menyimpang dari al-Quran
dan hadis). Oleh sebab itu al-Haddad melihat tasawuf tersebut adalah untuk
melaksanakan semua perintah Allah swt
dan menjauhi semua larangan-Nya, sambil
membersihkan diri dan menjernihkan jiwa
hingga merasa cukup dengan Allah dan
tidak membutuhkan dunia yang lain.
Sedangkan di dalam Al-Maktubat, ia
berpesan; seorang sufi harus menyaring dan
menjernihkan segala perbuatan, ucapan, dan
semua niat serta perilaku dari berbagai
kotoran berupa riya (pamer), dan segala
sesuatu yang tidak disukai Allah swt. Selain
itu manusia harus menghadap Allah secara
terus-menerus secara lahir maupun batin
dengan mengerjakan semua ketaatan hanya
kepada Allah dan berpaling dari segala
sesuatu selain Allah Yang Maha Esa.
Dalam Al-Fushul al-Ilmiyah, al-Haddad
menguraikan intinya adalah memurnikan
tauhid (akidah) dari sumber-sumber syirik,
kemudian menumbuhkan akhlak terpuji
seperti zuhud, ikhlas, dan bersih hati terhadap kaum muslimin serta
menghilangkan segala sifat buruk seperti
cinta dunia, riya, dan angkuh. Kemudian
melaksanakan amal saleh yang nyata dan
menjauhi perbuatan buruk. Mencari nafkah
dengan baik melalui jalan wara’
(menjaughkan diri dari segala sesuatu yang
haram, dosa dan maksiat) dan qanaah
(mensyukuri terhadap apa yang telah
diusahakannya).
Bagi kalangan ahli hikmah, jumlah dalam
bacaan memiliki makna tersembunyi
(asrar). Jumlah juga mengandung misteri
(sirr). Dan tentunya mengamalkan Ratib
Alhaddad tidak perlu ragu asal tidak
menyimpang dari al-Quran dan hadis.
Apalagi, di era sekarang ini di tengah
masyarakat dan ummat menghadapi
kegelisahan, kebingungan, bahkan frustrasi
karena dunia modern tidak mampu
memberikan solusi terhadap berbagai
persoalan, maka dengan mengamalkan Ratib ini diharapkan mampu memberikan
kesejukan jiwa sekaligus jalan dan jawaban
terhadap masalah-masalah duniawi yang
makin rumit tersebut.
* Wafatnya Imam Haddad RA
Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M,
beliau sakit dan tidak ikut shalat ashar
berjamaah di masjid dan pengajian sore.
Beliau memerintahkan orang-orang untuk
tetap melangsungkan pengajian seperti
biasa dan ikut mendengarkan dari dalam
rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya
berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya
beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at.
Sejak hari itu, penyakit beliau semakin
parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai
akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah
1132 H / 1712 M beliau wafat di kota
Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan.
Beliau wafat dalam usia 89 tahun,
meninggalkan banyak murid, karya dan
nama harum di dunia. Beliau dimakamkan
di pemakaman Zanbal, Tarim. Meski secara
fisik telah tiada, secara batin Habib
Abdullah bin Alawy Al-Haddad tetap hadir
di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca
_________________________________________
PUSTAKA MAJELIS RASULULLAH SAW
Alhabib abu bakar bin ja'far alkaff
Tidak ada komentar:
Posting Komentar